Sudah dua kali penulis sowan kepada Eyang Tohari. Beliau adalah sosok yang sangat bersahaja dan tepat waktu. Sosok yang tak lepas dari songkok hitam dan topi ala-ala pria Eropa klasik sangat matang dalam menyampaikan kata-katanya. Ia tak menulis dengan sembarangan. Sebagaimana khasnya orang tua Jawa, ia tidak pernah menghasilkan tulisan yang serampangan, asal-asalan, apalagi instan. Semua didahului proses yang panjang dan perenungan yang mendalam. “Saya menulis untuk bangsa ini, Mas” Tegas ia dengan mimik yang begitu serius.
Begitu memasuki area Jatilawang, kita akan disambut oleh lebarnya sawah yang seakan tak berujung. Tanahnya putih dan datar, tak heran mengapa sepeda menjadi salah satu alat transportasi favorit di sana. Mukadimah ini tentu sudah melemparkan penggemar karya Pak AT ke kisah di Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” di mana Dusun Dukuhparuk yang diceritakan begitu terbelakang dan menjunjung tinggi adat nenek-moyang.
Ronggeng Dukuh Paruk tidaklah sepenuhnya fiksi. Yang dimaksud Dusun Dukuhparuk adalah Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang. Desa ini masih banyak dijumpai rumah adat Jawa yang nampaknya sudah terlampau kuno. Aktivitas Kejawen juga masih berjalan rutin. Penulis tak begitu beruntung karena tak menemui aktivitas tersebut. Namun yang membuat jantung penulis ‘jedag-jedug’ adalah ada sebuah pekuburan yang sama dengan apa yang digambarkan di novel dengan tokoh utama Srintil ini. Pekuburan ini berbukit dengan pohon-pohon besar di puncaknya. Cukup menggambarkan reputasi tokoh yang dikubur di sana yang dinamakan Ki Secamenggala dalam novel.
Novel yang satu ini melegenda dan penuh kontroversi, terlebih mengingat kapan novel ini terbit dan latar belakang penulisnya. Novel ini menceritakan Srintil sang ronggeng menjadi korban atas kebiadaban Orde Baru dalam usaha ‘bersih-bersih’ segala hal yang terlibat dengan PKI. Srintil yang pernah diundang untuk menari, pada acara yang ternyata merupakan kampanye PKI, ikut ditahan. Beruntung, karena ia yang begitu cantik, mendapat perlakuan istimewa dari para sipir sampai akhirnya bisa bebas walaupun dikenakan wajib lapor. Konten yang membela banyak orang yang dituduh PKI itu sontak menjadi kontroversi dan dihapus untuk beberapa tahun.
Latar belakang Pak AT terbilang sangat santri. Ia merupakan keluarga besar Pondok Pesantren Al Falah Tinggar Jaya. Novelnya itu banyak mengandung bagian yang bisa dibilang mesum dan blak-blakan. Tentu hal ini dianggap sebuah paradoks. Namun jika ditelusuri dan ditelaah, makan kita akan menemui jawaban yang adiluhung. Pak AT yang beraliran realis, tepat menggambarkan watak-watak Banyumasan yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling. Kontennya pun tak main-main. Pak AT ingin menggambarkan potongan ayat ‘Min al-dhulumati ila al-Nur” atau sebuah langkah dari keburukan menuju kebajikan. Konsep ini tergambar dari tingkah laku sang tokoh utama, Srintil. Ia yang awalnya terbuai dengan profesinya sebagai ronggeng yang bergelimang harta dan popularitas pada akhirnya sadar bahwa ada sesuatu yang hilang darinya.
Setelah ditelisik, ia menyadari bahwa jiwa kewanitaannya telah hilang karena tergerus kebiasaannya yang menjajakan birahi dan kesenangan berbasis seks. Ia ingin menjadi wanita somahan yang dipersunting orang menjadi istri yang melahirkan anak dan hanya menjadi milik seorang pria.
Alun-alun Jatilawang begitu menarik, di setiap pojoknya terdapat pohon beringin yang lebat sehingga enak untuk dibuat ngaso. Begitu syahdu suasananya, apalagi jika yang berteduh adalah penggemar karya Pak AT. Menurut pandangan penulis alun-alun ini yang diasumsikan Pak AT sebagai Alun-alun Dawuhan tempat Tokoh Parman–dalam Novel “Kubah”–mengaso dan bimbang setelah sekian lama diasingkan di Buru karena keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia khawatir kedatangannya akan ditolak oleh warga kampung karena statusnya yang Eks-Tapol. Dalam novel yang sangat diapresiasi Gus Dur ini, Parman yang letih tertidur di bawah pohon beringin. Penulis berimajinasi bagaimana Karman ‘planga-plongo’ di sana. Sungguh menarik! Penuh romantisme subjektif tentunya.
Pak AT juga penulis bilang mendalami tasawuf. Dalam Novel “Bekisar Merah.” Namun ada satu karya menarik yang menurut penulis penuh misteri, yakni Cerpen “Pengemis dan Selawat Badar.” Cerpen ini berkisah bis antarkota yang dinaiki oleh pengemis ikut di dalamnya. Ia menyanyikan Selawat Badar sepanjang perjalanan untuk mengamen. Naas, bis itu mengalami kecelakaan dan banyak penumpang terluka. Ajaibnya, sang pengemis selamat dan pergi dengan santainya bak tak terjadi apa-apa. Ia pergi sambil melantunkan selawat yang identik dengan Nahdliyin itu.
Kejadian ini cukup ganjil dan mendatangkan pertanyaan mengenai maksud dari cerpen ini. Bahkan Gus Mus atau KH. Mustafa Bishri pun tidak ketinggalan dalam menanyakan maksud novel ini kepada Pak AT.Menurut Pak AT, di situ, ia ingin menggarisbawahi pentingnya selawat dalam menghadapi pelbagai momen dalam hidup. Allahumma shalli ‘ala Muhammad
Pada paragraf terakhir ini, penulis berharap Pak Ahmad Tohari panjang umur dan terus produktif menulis. Tulisan-tulisan Pak AT begitu penulis gandrungi untuk dibaca dan kemudian diambil ibrahnya.
Leave a Reply