Pagi tiba, hujan pun tiba
Petir hampir saja menyambar
Naik turun hampir tiada henti
Hanya untuk mengais tetes demi tetes nira
Mencari sesuap nasi untuk keluarga
Pijakan licin siap mengancam nyawa
Sedikit saja kaki tergelincir
Denyut nadi taruhannya
Satu persatu pohon kau naiki, kau panjat
Tak peduli angin perkasa yang setiap saat bisa mengehempaskan
Tak peduli Guntur, si jumawa penebar teror dengan gemuruh bunyinya
Nyalimu, nyali para patriot
Tekadmu, tekad para perjuang di medan perang
Jasamu sukar aku lukiskan
Meski seribu bait puisi ku karang,
Walau sealbum lagu pujian ku gubah.
Tinggi pohon nyiur yang kau panjat tak senada dengan tinngi derajat yang kau sandang
Manisnya nira kau toreh, tak semanis hayat yang kau kecap.
Keringatmu yang menganak sungai di ketiak, dengan bangga ia ingin berteriak :
“Aku… hasil ekskresi jasad mulia nan bersahaja!!”
“Aku…. Membasahi kulit penantang amarah Mentari dan dendam sang Bayu!!”
Celurit usang, saksi bisu bagi sang pejuang
Menaklukan emaknya Cocos nucifera sang pencakar langit, si seteru badai dan rival gemuruh hujan
Dengannya kau sayat-sayat sang emak, kemudian kau alirkan :
Tetes demi tetes Badeg penukar rupiah
Mengisi pongkor-pongkor bak tabung oksigen penyambung nafas,
Menjadi batang-batang gula jawa pemanis hidup yang penuh gulana
Penderes oh penderes….
Meski urusan dapur hampir tak pernah beres
Walau, kaca jendela untuk menilik masa depan acap kali tergores
Namun senyum manis tak henti-hentinya mengoles
Wajahmu yang lugu tak pernah dipoles.
Leave a Reply