Malam mulai larut saat Aku turun dari bus antarkota. Kulirik jam sudah hampir pukul satu. Seharusnya Aku sudah sampai sejak pukul sembilan tadi, tetapi karena macet di jalan antarprovinsi, waktu perjalanan ngaret hampir empat jam. Kulihat fitur peta di gawaiku, ternyata rumah Sam sudah dekat, menurut peta, Aku cukup berjalan sepuluh menit untuk sampai. Sebenarnya ada dua jalur menuju rumah Sam, namun jalur yang satu lagi-menurut peta- terlampau jauh, hampir setengah jam perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Ternyata Aku kurang beruntung, peta dan operatornya-yang entah siapa bersekongkol memperdayaku yang awam. Hampir sepuluh menit berjalan Aku belum juga sampai di permukiman, bahkan satu rumah pun kutak temui. Aku melalui jalan yang menurun dan minim penerangan. Jalanan ini juga belum diaspal, masih banyak kerikil yang tidak begitu enak ketika diinjak. Di samping kiri jalan terdapat sungai yang kedengarannya cukup deras alirannya. Di sebelah kanan terdapat kebun yang kukira cukup luas. Ketika hampir tandas kulalui turunan tersebut, terdengar suara dari belakangku: “Anak muda, mau ke mana?” Spontan Aku menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya membawa obor sedang berada di samping saluran air. Ia tampil menor dengan gincu merah, senada dengan bajunya. Aku heran mengapa diriku baru menyadari keberadaan perempuan itu sekarang, sedangkan tadi Aku baru saja melewati tempat tersebut. “Mau ke rumah teman, Bu” jawabku santai . “Bisa bantu Saya mengambil barang dagangan Saya yang hanyut di sini, Nak?” Pintanya memelas sambil menunjuk ke sungai. “Ma’af, Bu, Saya tidak bisa berenang dan sedang buru-buru”. Aku menjawab sambil pergi tanpa menoleh. Kurasa dia hanya orang gila yang suka berkeliaran tengah malam begini. Sampai di ujung turunan, Aku menjumpai tanjakan lagi. Aku lalui tanjakan tersebut sambil mengumpat di dalam hati: “ Sialan Kamu, Sam! Kau sukses mengerjai Aku! Katanya rumahmu berada di ujung turunan, tetapi hanya rumpun bambu yang kutemui. Aku melalui tanjakan tersebut dan kembali melalui turunan. Yang kujumpai adalah hal yang sama, rumpun bambu. Ingin kuhubungi Sam namun sinyal di sini tiarap! Sama-sekali tak muncul! Selanjutnya Aku hampir naik-turun tiga kali. Habis sudah energiku dini hari itu. Aku hampir putus asa menemukan kediaman Sam yang seakan-akan ditelan bulan purnama.
Aku tengah terengah-engah ketika melihat sorotan senter dari arah belakang. Aku sempat ragu untuk menoleh, namun akhirnya Aku perkosa adrenalinku untuk menggerakkan badanku untuk berbalik badan. “Indra! dari mana saja, Kau?! rumahku di bawah” Teriak Sam sambil menunjuk jalan arah yang telah kulalui tadi. “Sialan, Kau, Sam! Puas kaupermainkan Aku?!” Aku mendekat sambil menggerutu. “Siapa yang mempermainkanmu? Aku kan sudah bilang tadi sore, dari jalan raya, jalan sebenetar sampai ujung turunan. Di ujung turunan ada rumah berwarna coklat susu, Itulah rumahku” Sam membela diri dengan penjelasan yang telah ia katakan tadi sore lewat telepon, sama persis. “Aku sudah mengikuti instruksimu, tapi Aku hanya menemukan rumpun bambu!” Jawabku ketus namun sambil menjabat tangannya. “Ah, sudahlah, mungkin Kau terlalu capai sehingga tak fokus. Ayo ke rumahku! Jangan marah-marah terus!” Aneh bukan buatan! Ternyata benar, di jalan yang telah kulalui tadi terdapat rumah Sam!
##
Matahari terbakar sempurna. debu jalanan berterbangan tak tahu tata krama. Raungan klakson bersahut-sahutan, bak beradu kejantanan, berusah menarik perhatian mereka yang keluar dari pasar sehabis berbelanja. Bau kotoran kuda delman ikut campur saja di dalam hiruk pikuk pasar tradisional yang tak kunjung tertata. Belum lagi teriakan kernet yang sekenanya, sember bukan main, disertai makian vulgar yang keluar kala ada yang mengganggu jalur busnya.
Seorang wanita paruh baya keluar pasar dengan lanhgkah yang jumawa. Bibir merah merona bak habis menggigit ayam tetangga. Tangannya yang bak paha (saking makmurnya) dihiasi gelang yang hampir sepuluh jumlahnya. Baju dengan warna merah mencolok mencuri perhatian setiap pasang mata yang melihatnya. Mereka yang melihat akan bertanya-tanya: “Artis dangdut subur ini mau manggung di mana?” “Sugeng siang, Jenganten” sapa kernet bus dengan sopan. “Siang..”Jawab wanita tersebut setengah hati. Sang kernet mempersilakan wanita itu duduk di tengah, di bangku terbagus yang bus itu punya. Ada beberapa penumpang di sana, tak terlalu ramai. Setelah wanita itu duduk, tak kurang dari lima orang kuli hilir mudik membawa barang belanjaan sang wanita: perlengkapan tidur; sayur-sayuran dan buah-buahan; segala jenis baju dan alat-alat kosmetik-made in china. Nampaknya wanita ini sudah dikenal kru bus dengan baik. Supir bus yang tadinya entah ke mana, datang membawakan segelas es cendol lengkap dengan kacang hijau. “Terima kasih” Jawab pendek sang wanita sambil memberikan selembar uang. “Terima kasih, Jenganten” Supir berterimakasih dengan sangat sopan, bak hamba sahaya yang berterimakasih kepada majikannya. Tak lama kemudian bus sudah penuh oleh penumpang dan barang bawaan mereka. Satu per tiga bus dipenuhi barang belanjaan nyonya penguasa bus, Nyi Rampen namanya.
Bus jurusan Tanahamba-Karangdawa mulai melaju. Sepanjang perjalanan tak henti bus ini tersengal-sengal karena sudah digerogoti usia namun dipaksakan untuk beroperasi. Bus “Sumber Urip” merupakan moda transportasi pertama dan satu-satunya yang menghubungkan daerah sub-urban Tanahamba dan daerah pedesaan Karangdawa. BISU atau Bis Sumber Urip (begitu penumpangnya kerap menyebut) merupakan elemen pemutar roda ekonomi warga Karangdawa yang terkenal udik dan terisolir dari warga di daerah sekitarnya. BISU berjajalan lancar ketika melaju di Jalan Raya Karangkemiri namun sering kali menjadi korban jalan berlubang di KM 5 Jalan Raya Langgongsari. Ketika memasuki Jalan Raya Pageraji, supir bus menghentikan perjalanan melihat kawannya sesama supir menepikan busnya. “Busmu kenapa?” Teriak supir BISU beradu suara dengan suara mesin bus yang bising. “Tak kenapa-kenapa. Di Cijenguk ada razia polisi, Un! Kau tentu paham bahwa Aku tak punya STNK apalagi SIM!” supir BISU, Semaun terperanjat, ia juga akan melalui Cijenguk dan sama-sama tak mempunyai STNK atau pun SIM. Semaun ikut-ikutan menepikan busnya. Ia berpikir sejenak untuk menyiasati razia polisi yang mengancam mata pencariannya.
“Kunyuk! Mengapa Kau berhenti!” Teriakan wanita pemilik kursi eksekutif menyadarkan lamunan Semaun. Semaun pun medekat ke Wanita tersebut dan menjelaskan duduk perkaranya. “Aku tidak mau tahu! Kita harus sampai ke Karangdawa sebelum matahari tenggelam! Kalau tidak berarti Kau memberi isyarat untuk berhenti bernafas!” Gertak wanita berbadan besar itu. Semaun memutar otak mencari jalur alternatif selain Cijenguk. Ia teringat perjalanannya sekitar sepuluh tahun yang lalu melewati Sudimampir. Desa itu bisa menjadi jalur alternatif selain Cijenguk, meskipun kualitas jalan di desa tersebut sangat buruk. Semaun tak sempat berpikir panjang, takut kena sial karena berurusan dengan Nyi Rampen yang memiliki pengaruh besar di desanya. Semaun kembali menjalankan bus reotnya. Ketiak berada di pertigaan Kolongan, ia belok ke kiri menuju Sudimampir. Tak lama, jalur dengan kontur jalan yang tak rata menyambut. BISU bergoyang tak tentu arah, seisi bus bergoncang: anak-anak kecil mulai mual dan muntah; barang-barang yang diangkut berjatuhan dari bangku. Nyi Rampen sibuk memegangi barang belanjaannya sambil terus mengumpat:”Nyupir yang betul, goblok!” Semaun tak memerdulikan umpatan Nyi Rampen. Ia fokus pada jalan berbatu yang ia lalui.
Pelan namun pasti, BISU melalui jalanan Sudimampir. Semaun sekuat tenaga menstabilkan laju bus rombengnya itu. Batas kemampuan manusia ada batasnya. Pepatah tersebut berlaku bagi Semaun. Ketika menghadapi turunan yang terjal dan berbatu, Semaun hampir menyerah. “Semua penumpang dan barang bawaannya turun! Jalan tak memungkinkan untuk dilewati dengan bus berisi.” Teriak Semaun dari bangku kemudi. Seluruh penumpang langsung turun setelah mendengar seruan Semaun, kecuali Nyi Rampen. “Aku tak mau turun! Enak saja! Ini pasti rencana busukmu, Semaun!” Hardik Nyi Rampen. “Rencana apa, Nyai? Aku hanya takut jika bus ini oleng dan terjadi hal buruk kepada penumpang.” Semaun menjelaskan. “Ngomong saja Kau akan meninggalkan penumpang! Dasar sopir tak bertanggungjawab!” Nyi Rampen kembali menyerang Semaun. “Aku tak mau turun! Aku akan memastikan Kau tak meninggalkan penumpang, Aku juga akan menjaga barang-barang belanjaanku” tambahnya. Semaun sebenarnya ingin menghardik balik Nyi Rampen yang keras kepala, namun ia sadar bahwa ia akan menghadapi masalah jika berurusan dengan saudagar kaya di desanya itu. Ia hanya diam dan mulai menyetir bus tuanya menuruni turunan yang berbatu dan terjal. Nyi Rampen terguncang namun mencoba bertahan memegangi barang dagangannya. Dahi Semaun berkeringat, ia berkonsentrasi penuh menghadapi jalan yang semakin binal saja. Sampai di tengah turunan, lajur kanan jalan begitu buruk sehingga bus bergerak lebih ke kiri. Na’as, karena tanah di sebelah kiri jalan tak terbiasa menahan beban seberat bus, tanah tersebut amblas ke sungai. Bus limbung dan ikut tercebur ke sungai yang cukup dalam. Semaun dan Nyi Rampen ikut tercebur bersama bus. Penumpang yang sudah menuruni turunan terbelalak melihat apa yang terjadi. Mereka langsung berlari mendekat ke bibir sungai. Tak lama Semaun yang pandai berenang muncul di permukaan air. Orang-orang membantu Semaun naik. Namun Nyi Rampen tak kunjung muncul. Nyi Rampen sebenarnya bisa berenang, namun karena badannya yang besar dan berat, ia sukar bergerak, apalagi ia tertindih kursi bus yang terlepas.
Semaun sebenarnya sudah berusaha menarik tangan Nyi Rampen yang berada di tengah bus, namun tubuh Semaun yang krempeng tak sanggup menarik tubuh Nyi Rampen yang tertimbun. Setelah beristirahat sebentar, Semaun melarikan diri. Ia takut kena tuntut oleh keluarga Nyi Rampen yang harapan bertahan hidupnya tipis. Ia berlari menuju kebun di sebelah kanan jalan. Tak satupun orang yang sadar bahwa Semaun kabur, semuanya sibuk mengerumuni sungai. Anehnya, tak ada satu pun dari mereka turun ke sungai dan menyelematkan Nyi Rampen. Mental mereka hilang bersama Semaun memperkirakan dalamnya sungai di depan mereka. Setelah setengah jam, sekitar sepuluh warga sekitar datang, lima dari mereka langsur menceburkan diri ke sungai dan selebihnya memobilisasi penumpang bus yang selamat ke rumah ketua RT yang berada di ujung turunan. Sesampainya di rumah ketua RT, salah satu mereka ditanya asal-usul, dari dan mau ke mana rombongan bus tersebut. Pak Ketua RT kemudian bertanya mengenai di mana sopir bus. Semua penumpang menggelengkan kepala, mereka tak sadar bahwa sang sopir telah kabur entah ke mana.
Sekitar setengah jam kemudian lima orang yang tadi menyeburkan diri datang ke rumah Pak RT membawa tandu yang di atasnya terbujur jasad yang ditutupi daun pisang. Nyai Rampen meregang nyawa karena ketidakpercayaannya kepada sopir. Keesokan harinya, warga Sudimampir kembali gempar. Haji Ngabdurrohman menemukan jasad tak bernyawa tergantung di kebun jambu-bijinya. Diketahui itulah Semaun yang kabur tempo hari saat bus yang dikendalikannya tercebur ke sungai di samping jalan-yang kemudian terkenal dengan nama “Rampenan.”
##
Indra masih bengong ketika Sam selesai menceritakan asal-usul jalan turunan yang berada di dekat rumahnya itu. Indra kepikiran mengenai sosok wanita paruh baya yang ia temui di turunan tersebut. Ia belum dan akhirnyaa enggan menceritakan apa yang terjadi sebelum ia bertemu Sam malam itu. “Heh! Kok bengong?! Itu bus jurusan kotamu sudah datang!” Bentak Sam. “Eh, iya, Aku pamit yah, Selamat Tinggal!” pamit Indra buru-buru. Ia seakan tak sabar meninggalkan daerah itu. Ia trauma dengan apa yang ia alaminya tiga hari yang lalu. Liburannya selama dua hari bersama Sam seakan tak berbekas sama sekali. Di dalam bus ia berkeringat meski bus tersebut berpendingin ruangan.”Adek kenapa? Kok nampak pucat?” tegur supir bus di samping Sam, ia duduk di bangku terdepan. “Saya sehat kok, Pak” Jawab Sam terbata sambil menoleh. Ia terperanjat ketika melihat nama sang supir yang tertulis di atas saku seragam: “Semaun.”
is it purely fiction?
Ngga kok . Emang pernah terjadi