Paceklik di Malioboro
Jika ditanya masa-masa sulit ketika menjalani School Outing Program, maka penulis akan menjawab pengalaman berburu turis di Malioboro. Entah mengapa tapi penulis merasa rikuh pekewuh ketika harus masuk café hanya untuk meminta waktu untuk mengobrol. Keberanian penulis yang bergejolak selama menjalani SOP di Candi Prambanan sirna di hadapan café-café yang berjejer berjejer dan gang-gang sempit.
Penulis berpikir bahwa jika turis-turis asing di area Candi Prambanan merasa tidak keberatan jika mereka diajak mengobrol karena mereka sedang menikmati keramaian sedangkan turis yang berada di café-café ini sedang ingin menikmati ruang privat mereka. Benar saja, banyak di antara mereka menolak untuk diajak berbicara.
Sebenarnya di gang-gang sempit yang penulis dan partner temui banyak turis asing yang berlalu-lalang, namun mereka juga menolak untuk berintraksi. Penulis berpikir bahwa hal ini lumrah karena memang di sekitar Gang Sastrowijayan ini memang tempat transit banyak turis asing. Artinya mereka hanya menjadikan daerah ini sebagai tempat menginap ataupun mengisi perut untuk selanjutnya bertamasya mengelilingi Yogyakarta.
Ada sebuah kejadian yang memalukan nan lucu yang kami alami. Kami bertemu dengan seorang perempuan paruh baya dengan rambut pirang dan berwajah kaukosid. Ketika penulis memberanikan diri untuk mengajak mengobrol, tentunya penulis menggunakan bahasa Inggris, ia menjawab dengan bahasa Indonesia yang begitu fasih dan jelas,
“Ma’af, Saya tidak punya waktu. Saya sedang buru-buru.”
Penulis dan partner bengong. Kami menahan malu kendati tidak ada yang memerhatikan kami. Tampaknya orang yang kami sangka turis asing itu sudah lama tinggal di Yogyakarta sehingga bahasa Indonesianya sudah sangat fasih. Kejadian ini penulis rasa sebelas duabelas dengan kejadian saat kami di-prank bapak-bapak ber-jersey Benfica di Candi Prambanan.
Tersesat ke gang terlarang
Karena bisa dikatakan putus asa, kami memutuskan menjelajah gang-gang sempit yang kami temui. Secara random kami memilih jalan ketika berjumpa dengan pertigaan. Ada hal janggal ketika kami memasuki sebuah gang. Di halaman rumah-rumah petak di samping jalan sempit banyak wanita paruh baya yang menyapa kami. Bukan hanya menyapa, mereka juga terdengar seperti bertanya apakah kami sedang mencari cewek cantik. Kami terus berjalan tanpa menjawab sepatahkatapun. Penulis merasa ada satu hal yang tidak beres. Langkah kami berdua semakin cepat.
Ketika bertemu peserta SOP lain, Kami menceritakan kejadian yang baru saja kami alami. Ternyata area yang baru saja Kami sambangi adalah sebuah “lokalisasi” yang cukup termasyhur di Yogya. Partner penulis menyunggingkan senyum pait saat mendengar keterangan tersebut. Penulis hanya bengong dan kehilangan kosakata untuk mendeskripsikan apa yang baru saja penulis alami.
Menjelajahi Malioboro
Karena putus asa akan perburuan turis di Malioboro yang nyaris nihil, penulis, partner dan peserta lain yang bernasib kurang beruntung memutuskan untuk berkeliling di area Malioboro. Kami melakukan banyak hal acak seperti melihat para pengemudi bentor berunjukrasa, karya-karya seni rupa seniman jalanan, mengunjungi Benteng Vredeberg dan Kraton.
Penulis begitu menikmati aktivitas ini. Penulis yang sudah jenuh berburu turis asing selama hampir seminggu bisa berleha-leha sambil menikmati suasana Malioboro yang penulis secara subjektif nilai begitu enak untuk melangkahkan kaki. Sepasang mata penulis dimanjakan nuansa jadul yang tersedia.
Berkenalan dengan Tradisi Membeli Buku
Pada hari ke delapan, grup kami harus bertukar dengan Grup A yang beroperasi di Candi Borobudur Magelang. Pada hari terakhir perburuan turis di Malioboro, Kami diberi waktu untuk berbelanja buku di Shopping Center. Penulis begitu antusias mengikuti sesi ini mengingat ini pertama kali penulis berbelanja buku. Penulis mendapat momentum pada hari itu. Momentum terjadi ketika ada kesempatan dan kesiapan. Penulis mendapat kesempatan berupa berkunjung ke pusat penjualan buku dan kesiapan berupa uang saku berlebih dari orang tua berkenaan dengan PKL.
Sebelum keberangkatan PKL, Sir Jabal (bukan nama sebenarnya) memberi rekomendasi judul-judul buku yang bisa penulis dan peserta lain beli di Shopping Center. Rekomendasinya yang penulis beli adalah novel pertama dari trilogi Bumi Manusia. Penulis juga membeli buku panduan jurnalistik mengingat penulis anggota pers siswa. Buku ketiga yang penulis beli adalah Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang penulis idam-idamkan sejak lama. Penulis mengetahui judul buku ini dari guru bahasa Indonesia penulis sewaktu madrasah tsanawiyah. Ia begitu merekomendasikan buku ini mengingat penulisnya adalah asli tanah kelahiran penulis, Banyumas.
Pembelian tiga buku ini, bagi penulis, menjadi pintu gerbang dari dua aktivitas yang berkesinambungan, yakni tradisi membeli dan membaca buku. Awalnya memang penulis kerap membaca buku, namun buku-buku yang penulis baca berasal dari pinjaman.
Membeli buku di Shopping Center juga menjadi penanda awal penulis mengenal penulis-penulis dengan karya-karya beratnya. Sebelumnya, penulis hanya mengonsumsi buku-buku ringan karya Raditya Dika, Habiburrahman El-Shirazy, dan beberapa penulis lain.
Leave a Reply