Apa itu Tahrij?
Yang akan pertama penulis sampaikan adalah “tahrij” merupakan semacam skripsi khusus untuk pondok pesantren luhur tempat penulis belajar. Bagi yang sering membaca kutipan hadis, tentu akrab dengan istilah-istilah yang mengacu pada status hukum hadis seperti “sahih” “hasan” atau “dlaif,” namun jarang yang mengetahui langkah-langkah yang diambil dalam mencapai penyimpulan yang demikian. Selain itu, tahrij juga adalah aktivitas mencari sumber primer suatu hadis. Artinya, seorang yang sedang melakukan aktivitas tahrij adalah ketika ia sedang mencari di kitab apa sebuah hadis.
Setia kepada bus
Cerita berawal dari akhir libur Lebaran. Penulis yang telah menyelesaikan studi di tingkat perguruan tinggi, tidak serta-merta sudah menyelesaikan misi di Ciputat. Penulis masih memiliki satu tanggungan, yakni menyelesaikan tahrij.
Seperti biasanya, penulis memesan tiket H-1 keberangkatan. Di tengah kemajuan kereta api, penulis masih setia dengan mode transportasi bus. Meski sering ditipu agen bus dalam hal pemberhentian di Jakarta, namun penulis masih tetap optimis masih ada agen yang amanah. Seringkali bus yang sedianya di awal katanya akan menurunkan penulis di Ciputat, justru menurunkan penulis di Kalideres. Jika sudah demikian, penulis perlu naik KRL demi melanjutkan perjalanan.
Jika menggunakan kereta api, penulis juga harus turun di Pasar Senen. Penulis harus melanjutkan perjalanan menggunakan KRL di rush hours. Penulis harus berjibaku dalam berebut tempat dengan banyak pengguna KRL dan mengejar kereta dengan tujuan yang diinginkan.
Beruntung penulis ingat cerita salah satu teman yang pernah menggunakan jasa sebuah agen bus yang benar-benar amanah mengantar hingga Ciputat, sebut saja Glorious Lights. Muncul optimisme setelah mengingat testimoni tersebut. Setelah googling, penulis mengetahui bahwa PO agen tersebut berada di dekat pasar kecamatan tetangga. Singkat cerita penulis mendapatkan tiket dari PO ters
Terminal dan Perenungan
Keesokan harinya, penulis menunggu keberangkatan di Stasiun Ajibarang. Rupanya arus balik masih ramai kendati sudah melewati H+7 Lebaran. Salah satu hal yang penulis sukai dari menggunakan mode transportasi bus adalah bonus berupa melihat siklus urbanisasi. Penulis bisa melihat bagaimana orang-orang dari daerah pedesaan berduyun-duyun datang ke kota untuk mengadu nasib. Tak jarang pula penulis juga merenung melihat penumpang-penumpang bus dengan menerka apa latarbelakang mereka.
Yang tak kalah menarik adalah pengamatan tersebut juga sering kali melahirkan perenungan. Pertama, penulis merasa bersyukur, tentunya tanpa merasa lebih tinggi, karena penulis pergi ke Ibu kota untuk niat belajar, bukan tujuan kebanyakan penumpang lain yang memang hendak mengadu nasib di sana. Sebagian dari mereka bahkan benar-benar “mengadu” nasib karena memang belum tahu apa yang akan mereka perbuat di sana. Penulis berasumsi demikian karena memang banyak anggota keluarga penulis kebanyakan adalah perantau di Ibu kota. Penulis seringkali menyimak bagaimana pahit dan getir hidup di tanah perantauan dari mereka.
Kedua, penulis diliputi kegundahan apakah jika berkeluarga nanti bisa memberi fasilitas layak bagi anak dan istri penulis. Kegundahan yang demikian muncul ketika melihat ada sebuah keluarga yang sedang mudik atau kembali ke Ibukota. Mereka biasanya membawa barang bawaan yang banyak serta anak yang masih belia. Sang anak seringkali rewel karena merasa tidak nyaman dengan keadaan saat mudik yang serba tak enak seperti: berdesak-desakkan, berpanas-panasan, atau menunggu waktu keberangkatan yang kadang molor. Tak jarang dari anak-anak polos ini menangis karena minta dibelikan satu jajanan namun uang orang tuanya pas-pasan. Dalam keadaan yang demikian penulis akan berpikir apakah jangan-jangan keluarga penulis nanti akan mengalami yang demikian: Pulang kampung dengan keluarga menggunakan transportasi umum yang kadang kurang nyaman untuk anak-anak.
Ciputat di Masa Pandemi
Sore itu, bersamaan dengan senja dan azan yang sayup-sayup berkumandang, penulis masih menunggu waktu keberangkatan bus. Setelah sekian lama berdiri, akhirnya penulis mendapat tempat duduk. Penulis bersebelahan dengan seorang pak tua, paling tidak umurnya sudah mencapai setengah abad. Ia membawa totebag lusuh bersablon logo bank swasta: sungguh minimalis barang bawaannya! Sebagai basa-basi, penulis menanyakan tujuan si pak tua,
“Mau ke mana, Pak?” Tanya penulis sambil menyunggingkan senyum.
“ke Ciputat,” jawabnya singkat.
“Kebetulan sama, Pak” timpalku antusias.
“Saya bekerja di Pasar Ciputat sudah sejak lama,” tambahnya.
“Saat pandemi Bapak pulang atau tetap di pasar?” Tanya penulis penasaran.
“Saya tetap di pasar karena memang tidak ada yang menggantikan,” jawabnya mengenang.
“Bagaimana nasib pedagang saat itu?” Penulis semakin tertarik dengan cerita pak tua.
“Nasibnya mengenaskan. Banyak pedagang yang gulung tikar. Saya sering membeli barang dagangan pedagang meski sebenarnya Saya tak membutuhkannya. Saya kasian,” penuturan tersebut begitu menyentuh.
Obrolan mengenai dampak pandemi di Pasar Ciputat berlanjut. Penulis yang berkuliah di sana namun tak tahu-menahu mengenai keadaan di sana saat pandemi karena buru-buru ‘mengungsi’ ke kampung halaman semakin penasaran bagaimana keadaan di sana saat masa genting tersebut.
Tak terasa bus yang akan penulis naiki sudah bersiap akan berangkat. Penulis dan pak tua langsung berbaris untuk naik ke bus. Sayang sekali bangku kami berjauhan. Penumpang di samping penulis condong pendiam. Kami hanya berbincang sebentar mengenai tujuan masing-masing: sekadar basa-basi.
Suasana bus cukup kondusif: pendingin udara tak membuat penulis menggigil, keadaan tenang, bus melaju dengan lancar, dan lampu bus dimatikan. Bus masih di Brebes saat ia berhenti untuk mengisi bahan bakar.
Perjalanan dimulai
Ketika memasuki tol Brebes, penulis tertidur karena memang tak ada yang menarik untuk dilihat ketika bus sudah masuk tol. Hanya lampu kendaraan yang berlalu-lalang yang terlihat jelas. Perkebunan di kiri-kanan jalan tersamarkan gelap malam. Penulis terbangun saat bus akan memasuki tol Jakarta. Bus berhenti untuk mengisi bahan bakar. Penulis yang terbangun merasa ingin buang air kecil dan melaksanakan Salat Jamak Maghrib dan Isya.
Pertama-tama penulis menuju toilet untuk buang air kecil, namun penulis urung memenuhi hajat karena tak menemukan kakus yang bisa digunakan untuk kencing sambil jongkok. Penulis bergegas menuju musala untuk mengambil air wudlu dan menunaikan Salat Jamak. Selesai salat, perasaan penulis mulai tidak enak karena tidak menemukan bus dengan kode bus yang penulis tumpangi. Penulis masih berusaha tenang sambil mencari bus yang penulis maksud. Setelah berkeliling dua kali di parkiran SPBU yang penuh bus, penulis menyerah.
Penulis kembali ke area dekat musala tempat penulis salat tadi. Di sana banyak bapak-bapak ber-PDH Glorious Light. Penulis bertanya mengenai bus yang penulis tumpangi. Petugas tersebut menjelaskan bahwa bus itu telah berangkat lima menit yang lalu. Bisa jadi menjadi usaha meredakan kepanikan penulis, ia memberikan nomor telepon supir bus yang penulis tumpangi.
Kepanikan yang sejenak mengendur kembali menegang setelah mengetahui nomor yang diberi petugas tadi tidak memiliki akun WhatsApp. Tak patah arang, penulis mencoba menelepon nomor pengemudi. Kemalangan kembali hadir saat penulis mengetahui bahwa pulsa ponsel penulis habis. Penulis terpaksa mengajukan pinjaman pulsa darurat dan untungnya berhasil. Kini penulis coba menelepon lagi nomor tersebut namun pesan operator mengatakan bahwa nomor tersebut berada di luar jangkauan.
Seketika dunia seakan gelap-gulita. Bintang yang bertebaran di cakwrawala seakan jatuh satu per satu menghujam ubun-ubun penulis. Langit terasa begitu gelap karena semua bintangnya sudah luruh menghujam penulis. Lutut ini bergetar. Kepala mendadak pusing. Pasalnya, tas dan koper yang penulis bawa tertinggal di dalam bus tadi. Di dalam tas tersebutlah terdapat laptop di mana berkas tahrij penulis tersimpan. Seribu satu kekhawatiran mengenai nasib laptop (terutama berkas di dalamnya) menghantui seketika. Terlebih berkas tahrij tidak penulis simpan secara daring di Google Drive. Sepercik harapan masih hadir mengingat tas kecil berisi dompet dan ponsel penulis, penulis bawa saat hendak melaksanakan salat jamak tadi.
Lamunan penuh bayangan getir akan kegagalan untuk lulus buyar saat seorang petugas ber-PDH PO yang penulis tumpangi menegur penulis,
“Silakan ikut bus yang ini, Mas. Kebetulan bus ini akan menuju Lebakbulus. Lebakbulus kan dekat dengan Ciputat,” jelas petugas tersebut. Ia menunjuk sebuah bus yang tengah terparkir di depan kami. Ia memberi kode kepada supir tersebut untuk membawa penulis.
“Pak, biasanya bus yang berasal dari Purwokerto akan berakhir di PO mana?” tanyaku ragu pada petugas tersebut.
“Pondokcabe, Mas,” jawab petugas PO itu cepat.
“Cause everything gonna be okay“
Dengan langkah gontai, penulis naik ke bus ini. Hawa di dalam bus ini yang lebih dingin daripada hawa di dalam bus yang penulis tumpangi di awal gagal mendinginkan pikiran penulis yang tengah panas karena bekerja keras dalam memikirkan bagaimana mendapatkan bawaan penulis yang tertinggal di bus yang penulis tumpangi sejak awal. Pikiran penulis dihantui kegagalan menyelesaikan tahrij. Cerita seorang kaka kelas yang gagal menyelesaikan tahrij gara-gara laptopnya error membayangi. Apakah penulis akan mengalami nasib yang sama?
Lamunan penulis tentang nasib tahrij yang di ujung tanduk buyar saat mendengar suara pemutar mp3yang dinyalakan supir. Lagu yang pemutar ini mainkan terasa begitu familiar di telinga penulis.
“Janganlah Kau bersedih. Cause everything gonna be okay,” begitu bunyi sepotong lirik lagu itu.
Ingatan penulis langsung terbang ke momen masa orientasi siswa baru yang penulis ikuti pada tahun 2010 yang lalu. Lagu ini seringkali dinyanyikan bersama-sama saat icebreaking. Pak Jaya sang pemandu sesi ini¸selalu berhasil membawa para peserta orientasi ke atmosfer yang penuh semangat dan optimisme ketika kami menyanyikan lagu yang dinyanyikan Bonda feat 2Black ini bersama-sama.
Lagu ini terasa begitu relevan dengan kondisi penulis sekarang. Bondan seakan sedang menasehati penulis agar jangan bersedih menghadapi situasi ini. Selalu ada harapan untuk sebuah kebaikan di keadaan sesulit apapun. Ajaibnya, lagu ini seakan berhasil menyihir penulis. Penulis merasa lebih rileks dan punya optimisme dalam menghadapi kegentingan dinihari itu.
Tak terasa, bus yang penulis tumpangi sudah hampir sampai di Lebakbulus. Supir yang mengemudikan bus pengungsian terkesan cuek dalam menghadapi pertanyaan penulis apakah penulis bisa diikutkan ke bus yang menuju Ciputat. Ia menyuruh penulis turun dan menanyakan kelanjutan nasib penulis kepada petugas PO Lebakbulus.
Tempat penurunan penumpang di Lebakbulus begitu tidak nyaman. Lokasinya berada di jalan utama yang ramai. Saat bus menurunkan penumpang, kemacetan hampir pasti terjadi. Untungnya, saat itu hari masih sangat dini. Belum jamak kendaraan berlalu-lalang.
Penulis turun dari bus dengan pikiran yang masih diselimuti kecemasan. Kendati lebih tenang daripada sebelumnya, namun penulis masih was-was. Seribu satu bayangan buruk masih setia memenuhi pikiran penulis. Mereka berebut atensi pikiran penulis: “Jangan-jangan tas dan koper penulis diambil oleh penumpang lain; ”Jangan-jangan tas dan koper penulis dibuang petugas kebersihan agen bus;” “Jangan-jangan tas dan koper penulis diturunkan di tengah jalan karena tak ada yang mengklaim memilikinya;” dan ‘jangan-jangan’ ‘jangan-jangan’ lain yang tak kalah suramnya.
Petualangan mencari bus pembawa lari tahrij bersama Pak Ocid
Penulis berniat memesan ojek daring selepas turun dari bus. Belum sempat membuka ponsel, seorang tukang ojek pangkalan mendekati penulis. Dengan begitu sopan ia menanyakan ke mana penulis akan pergi. Penulis menjawab dengan jujur bahwa penulis ingin pergi ke pangkalan bus agen Glorious Light yang berada di Pondokcabe. Seperti yang penulis duga sebelumnya, ia menawarkan jasanya. Ia begitu terbuka dalam hal negosiasi ongkos dan penulis akhirnya sepakat menggunakan jasanya.
Namun masalah belum usai. Ternyata penulis di bawa ke jalan yang gelap dan sepi. Penulis kini ditimpa rasa was-was lain. Penulis takut bahwa tukang ojek yang mengaku bernama Ocid ini adalah seorang begal yang menyamar sebagai tukang ojek.
Untungnya dugaan penulis salah. Ia ternyata tak tahu betul jalan menuju pangkalan agen bus Glorious Light di Pondokcabe. Ada kelegaan di mana dia ternyata orang baik-baik, namun ada kekesalan karena ternyata dia yang mengaku warga Ciputat tak paham rute menuju tujuan penulis. Kami sempat bertanya kepada semua orang yang kami jumpai sebelum akhirnya kami berhasil sampai di pangkalan PO Glorious Light di Pondokcabe.
Dugaan bahwa drama dinihari ini akan berakhir saat itu, sirna. Setelah bertanya pada pihak keamanan yang berjaga, ternyata bus Glorious Light yang berhenti di pangkalan ini adalah bus-bus yang berasal dari Wonosobo, bukan Ajibarang ataupun Purwokerto. Penulis merasa dibohongi petugas agen di pombensin tempat penulis terpisah dari rombongan bus tadi.
“Kalau bus dari Purwokerto sih biasanya berhenti di pangkalan bus Glorious Light di Jalan Otista Raya, Mas,” ujar satpam dengan sopan.
“Tenang, Mas. Barang-barang sampean aman. Selama Saya bekerja di sini, kasus seperti kasus sampean selalu berakhir dengan ditemukannya barang yang ketinggalan,” hibur satpam setelah mendengar cerita kemalanganku di pom bensin dekat pintu tol Jakarta tadi.
Penulis bernegoisasi ulang dengan Pak Ocid. Ia setuju untuk mengantarkan penulis ke pangkalan Bus Glorious Light di Jalan Otista Raya. Penulis merasa lega karena ia tak mengambil kesempatan ini dengan menaikkan ongkos. Ia sepertinya tahu betul penulis dalam keadaan yang begitu tak menyenangkan. Ia berusaha mengajak penulis berbincang selama dalam perjalanan ‘mengejar tahrij’ ini. Penulis menghargai iktikad baik Pak Ocid. Penulis menjawab setiap pertanyaan pria yang mengaku mantan koki rumah makan yang di-PHK karena tempat ia bekerja sepi pengunjung sebagai dampak pandemi.
Namun, keadaan di pangkalan itu begitu sepi. Ada dua bus Glorious Light yang terparkir. Sebuah warung sederhana yang berada di samping bus tutup. Di sampingnya terdapat bilik berukuran setengah meter persegi. Penulis rasa itu adalah loket tempat calon penumpang memesan tiket. Terang lampunya yang temaram sedikit mengurangi mencekamnya kegelapan di pinggiran Ciputat itu.
“Assalamu’alaikum…” kuucap salam sambil mengetuk pintu warung. Setelah kuketuk pintu sejumlah tiga kali, seorang pria paruhbaya dengan badan kurus dan tinggi sebahu penulis keluar. Ia menanyakan apa yang ia bisa bantu.
Aku menceritakan secara singkat nasib yang menimpaku di pombensin pintu tol Jakarta tadi. Ia langsung memberitahuku untuk mengetuk pintu bus yang terparkir di samping warung sederhana itu. Setelah kuketuk, seorang terlihat bangun dari bangku penumpang dan melangkah ke pintu bus.
Ia membuka pintu dengan ekspresi menahan kantuk. Pria yang mengenakan kemeja batik lusuh itu tidak lain tidak bukan adalah supir bus yang meninggalkanku ketika di pom bensin menjelang tol Jakarta tadi.
Alhamdulillahirabbil’alamin, tas dan koperku ada di bangku kedua dari depan lajur kiri. Komputer jinjing dan semua isi tas dan koper penulis utuh. Permintaan ma’af supir tak begitu kugubris karena konsentrasiku terfokus pada kelegaanku atas utuhnya laptopku yang berisi harapan hidupku saat itu: berkas tahrij!
Berjalan kaki sejauh satu kilometer
Penulis yang sedang diliputi kebahagiaan mengucapkan terima kasih kepada Pak Ocid yang sudi menolong penulis. Ia langsung pamit pulang karena fajar hampir menjelang. Celakanya, penulis tak sadar bahwa posisi penulis sekarang masih jauh dari asrama. Begitu sadar, penulis berinisiatif menelepon Pak Ocid untuk mengantarkan penulis ke asrama. Kebetulan tadi ketika perjalanan menuju Jalan Otista Raya, ia memberikan nomor WhatsApp yang katanya bisa penulis hubungi ketika membutuhkan jasanya. Namun, panggilan penulis tak kunjung diangkat. Penulis memutuskan menelusuri jalan yang penulis rasa menuju jalan utama.
Meski harus menggendong tas dan menjinjing koper, penulis begitu bersemangat berjalan menuju jalan utama. Beruntung setelah tak lama berjalan, penulis menemukan Angkot S.10, angkot yang rutenya melewati kampus penulis. Meski berjarak sekilometer dari asrama, namun setidaknya daerah sekitar kampus sudah penulis hafal betul detail-detailnya.
Setelah sampai seberang kampus, tahriman sudah berkumandang dari masjid yang berada di seberang kampus. Itu artinya waktu Sholat Subuh sudah hampir tiba. Penulis musti berjalan sejauh satu kilometer lagi untuk sampai di asrama. Rasa capek hampir tak terasa karena hati penulis dipenuhi rasa syukur atas kembalinya berkas tahrij yang hampir saja hilang bersama harapan penulis menamatkan pendidikan di pesantren luhur dengan baik.
Leave a Reply