Lalu lintas lancar pagi itu, kendaraan beroda empat dan dua rukun berbagi jalan, meski kadang suara klakson panjang membahana mengganggu indra pendengaran. Lisma masih berdiri di pinggir jalan menantikan angkot, moda transportasi favoritnya. Bukan tanpa alasan kenapa siswa SMA kelas akhir ini memfavoritkan angkutan yang satu ini, selain jam operasinya yang mendukung kegiatannya sebagai pelajar , moda transportasi yang satu ini sangat ramah bagi kantong abu-abunya. Sebenarnya Lisma mampu pulang pergi menggunakan mobil pribadi, tetapi sejak sekolah dasar ia sudah dididik untuk hidup sederhana oleh orang tuanya.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.45, jam tangan itu seakan ingin berteriak untuk memberitahu Lisma bahwa 15 menit lagi bel tanda masuk di sekolahnya akan berdering. Jika gadis penyuka mata pelajaran Sejarah itu sampai terlambat, maka tak ada kesempatan barang sepersen ia bisa masuk kelas. Peraturan tegas sekolahnya didukung oleh aparat yang mumpuni, Pak Hardi namanya. Satpam yang cenderung berwajah antagonis ini tak akan memberinya ataupun siapapun siswa yang terlambat kesempatan melewati gerbang sekolah.
“aduh…. bentar lagi bel nih, kok angkot kesayangan belum nongol sih?” gerutu Lisma sambil melihat jam tangan berwarna biru mudanya. Rasa yang sama tampaknya juga dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya, ada bapak-bapak yang sedari tadi membaca koran namun semenit sekali melongok jam tangan made in Swiss nya, seorang bocah berseragam biru putih yang tiada hentinya melongok ke jalan, seorang ibu-ibu gendut yang sibuk menenangkan adik bayi yang menangis terus, dan beberapa orang yang merasakan hal yang serupa namun mengekspresikannya dengan gaya mereka masing-masing.
1,2,3,4 sampai 10 menit sudah berlalu, tersisa 5 menit, waktu yang biasa terasa lama kala pelajaran Seni Budaya, sekarang seakan-akan 5 menit itu berakselerasi melebihi kecepatannya.
###
Di saat Lisma sedang kelimpungan mencari angkot yang tak kunjung datang, ibu nya sedang asik menyimak berita di kanal kesukaannya, tontonan yang aneh buat seorang ibu-ibu, kebanyakan wanita seusianya sedang getol-getolnya menyimak acara gossip . Ia terbengong ketika menyimak tingkat kehamilan remaja pra nikah yang tinggi belakangan ini, perasaannnya yang mudah tersentuh bergejolak seketika, lama kelamaan air mata menetes membasahi pipinya.
###
Lism sedang berada di ujung tanduk, empat menit tersisa namun tak ada satupun angkot yang menampakkan wujudnya.Tiba-tiba, bagai sebuah adegan pada serial FTV, Bara yang merupakan teman sekelasnya lewat, secara heroik ia berhenti dan menawarkan tumpangan,.
“Lis, mau ikut ngga?, udah hampir terlambat nih…”
Muka Lisma yang lecek bagai baju seragam sekolah yang tak dicuci seminggu berubah seketika, dengan mengorbankan rasa malu khas cewe yang tinggi dan menggelorakan semangat hari senin yang tadi pudar ia terima tawaran Bara, sang kapten tim bola basket di sekolahnya, Ia tersohor sebagai cowo idaman semua cewk. Sepanjang perjalanan Lisma tak henti-hentinya berimajinasi bahwa dirinya adalah seorang putri Eropa pada abad pertengahan yang naik kuda bersama pangeran impian, deretan toko-toko ibarat taman bunga yang membentang luas, mobil serta motor yang ia lalui bak kereta kencana berisi aristokrat, truk kontainer Lisma lihat seperti halnya Sapi yang menarik gerobak, asal knalpot ang mengandung karbon monoksida dirasakan bagai udara pagi di pedesaan kaya oksigen. Begitu indah perjalanan Lisma pagi itu, hingga…Tot… tot… tot…. bunyi klakson mobil Bara seumpama orang yang berteriak ingin masuk membuyarkan fantasi Lisma. “Kamu sudah terlambat Bara, cepat pergi !, sebelum Pak Andri melihatmu terlamabat bisa kena skors kamu!” Ucap Pak Hardi sedikit berteriak, Bara pucat mukanya seketika mendengar hal itu, berbeda sekali dengan muka yang selama ini ia tunjukkan ketika bermain basket. Sebenarnya saat ini bukan pertama kalinya Bara terlambat, namun di jam pertama dia harus mengikuti ulangan Sosiologi, jika Bara dan Lisma tak mengikuti ulangan tanpa alasan yang jelas, tak ada ampun bagi mereka. Meraka akan dianggap mengikuti ulangan namun mendapat nilai nol. “Kasihanilah kami pak, ada ulangan Sosiologi hari ini”, bujuk Bara dengan muka memelas, ia nyaris kehilangan kesan cool yang menjadi trademark nya. “Kan saya udah bilang, kamu berdua sudah terlambat, sana pergi….!!”, seru Pak Hardi . Tampaknya Lisma dan Bara menjadi korban peraturan ketat sekolah mereka hari ini. “ Mohon pak lah, nanti saya belikan sepatu made in Italy buat bapak, kasian kaki bapak yang mirip kakinya Ronaldo harus memakai sepatu butut seperti itu”, Lisma mulai meracau absurd. “Jangan coba-coba nyogok kamu yah?, pantas negara ini belum bisa jadi negara maju, pemudanya saja seperti kalian, kerjaannya telat, main suap lagi, Saya khawatir suatu hari nanti penjara penuh.” hardik Pak Hardi dengan gaya yang sok intelek dan bijaksana. “Ini gara-gara angkot pak, setengah jam saya menunggu angkot tapi tak ada angkot lewat, setelah saya lihat di internet ternyata hari ini supir angkot se-Jabodetabek lagi pada demo di Senayan pak”, Lisma mencoba berargumen dengan fakta yang ada. “sudahlah.., silahkan pergi!, atau kalian saya pajang di lapangan basket sampai jam dua belas”, Pak Hardi mengancam dengan mimik serius, kumis diktatornya memberi efek lebih.
Tak ada pilihan lagi Bara dan Lisma, mereka angkat kaki dengan berat hati, pergi tanpa tujuan yang jelas. Lisma yang patang arang menagis di mobil Bara, “kenapa sih aku bisa terlambat, huhuhu….”, Lisma terkesan heran pada apa yang dihadapinya. “Sudah lah lis, aku aja yang seminggu sekali pasti terlambat saja biasa aja, kamu yang baru pertama terlambat nangis”, hibur Bara sambil mengemudi, sebenarnya Ia juga tidak kalah frustasi, tapi gengsi rasanya cowo sekelasnya ikut meratapi nasib. Lisma tergolong anak yang rajin, ia selalu datang ke kelas tepat waktu dan mendapat nilai memuaskan di pelajaran, fakta itu yang nampaknya yang membuat Lisma menangis sekarang, apalagi ia hampir pasti dapat nilai 0 di Sosiologi dan bonus tambahab alfa . Tangis Lisma belum juga reda, ia memutuskan untuk menelpon ibunya.
###
Ibu Litsa masih asyik menyimak berita, ia semakin dalam terbawa suasana. Meskipun tangisnya sudah reda namun matanya masih berkaca-kaca mendengarkan kat-kata demi kata dari presenter berita berdasi hijau yang memaparkan fakta, kesedihannya tidak kalah dengan apa yang dialami anaknya. Konsentrasinya mendadak buyar saat ponsel nya berdering.
“Halo Lisma.. ada apa pagi-pagi nelpon?”, Ibu Lisma membuka pembicaraan dengan sedikit parau.
“ Aku telat Bu…”, Jawab Lisma terisak. “Apa, kamu telat?!”, Ibu kaget bukan main mendengar pengakuan anak sulungnya.“Iya Bu, aku bingung harus ngomong sama siapa lagi”, Jawab Lisma lagi mengisyaratkan keputusasaan.
Pikiran ibu yang masih terbawa berita menyebabkan pemahaman yang keliru pada kata-kata yang di lontarkan Lisma, keambiguan tak disadari mempengaruhi pemahamannya terhadap kata “telat” Lisma. “Astaga!, kok kamu bisa-bisa melakukan perbuatan itu nak?, sekarang katakan sama siapa?” Ibu Lisma panik. “Sama Bara, teman sekelasku Bu”, Jawab Lisma lugu. Ibu pingsan seketika mendengar jawaban Lisma yang dipahaminya dengan salah.
“Ibu aneh!?, anaknya terlambat eh malah ditanya sama siapa bukan nya dihibur gitu…”, gerutu Lisma, “sudahlah Lis, jangan dipikirkan, mungkin ibumu sedang banyak pikiran”, hibur Bara sambil menyoba menyebrang jalan. Bara mentraktir Lisma di café langganannya untuk guna mengusir gudah di hati Lisma.
###
Kisah kelabu Lisma di pagi hari berlalu, meski sempat sedih karena terlambat masuk sekolah, hampir pasti mendapat nilai nol di Sosiologi dan bonus alfa, namun akhirnya ia terhibur dengan keberadaan Bara yang datang bak pangeran berkuda di dongeng-dongeng pengantar tidur, meski Bara tak kuasa mengubah status Lisma, namun traktiran es krimnya mampu memancarkan senyum manis di bibir seorang Lisma Miranda lagi. Ketika suasana menyenangkan, waktu seakan bergerak lebih cepat dari biasanya, jarum di jam tangan Lisma seakan bergerak lebih semangat dari pada biasanya, Seakan-akan siang datang in time dari pada biasanya. Mentari sudah melalui lebih dari perjalanannya hari ini, meski dari terciptanya alam semesta sampai hari ini ia selalu melakukan hal yang sama, ia seakan tak bosan-bosannya melakoni aktifitas yang telas digariskan oleh sang pencipta. Lisma berpamitan kepada Bara untuk pulang, ia tak mau kena omelan ibunya yang membuat kepala pusing, ia juga enggan merusak hari untuk kedua kalinya, cukup pengalaman terlambat hari ini menjadi cobaan satu-satunya hari ini. Dewi Fortuna dan Dewi Amor mendampinginya hari ini, Bara kembali tumpangan gratis, kali ini tupangan sampai di depan Rumah Lisma. Awalnya Lisma menolak dengan senyuman (walaupun Cuma pura-pura), Bara paham betul gaya bermain Lisma yang klise, Ia menarik saja tangan Lisma. Kali ini Lisma tak lagi berpura-pura, gadis penggemar music jazz itu menurut saja, walaupun tak berkata satu patah katapun.
Rumah relatif sepi saat ia sampai. Dimas, adik Lisma, sepertinya tengah bermain di rumah temannya di lain komplek, ayahnya tentu masih bergumul dengan pekerjaan di kantor. Ibu nya yang tadi pagi pingsan sedaang beristirahat di kamar, hanya Bi Ijah dengan wajah bak seorang pria yang tengah menunggu persalinan istrinya di film-film menyambutnya. “Bibi kenapa… kok sepertinya lagi mencemaskan sesuatu?”, tanya Lisma berhati-hati. “Itu non.. Ibu”, jawab Bi Ijah tertahan. “Kenapa dengan Ibu Bi?”, Tanya Lisma penuh kecemasan. “Ibu pingsan tadi pagi, Alhamdulillah tadi jam 10 siuman, tetapi setiap saya tanya keadaannya, Ibu selalu bilang bahwa Ibu ingin mati saja”, Jawab Bi Ijah lesu.
Litsa dan Bi IJah menuju kamar Ibu Lisma, Wanita paruh baya yang sangat disayang Lisma sedang tidur nyenyak. “ Ya ampun, apa yang terjadi pada Ibu ya Bi!?”, Tanya Litsa dibumbui rasa heran dan cemas. “Setahu Bibi tadi pagi Ibu nonton TV, tiba-tiba jam sembilan Bibi menemukan Ibu udah pingsan di sofa.” Bi Ijah kembali memberi keterangan. “Sudah telepon dokter Bi?”, Tanya Litsa lagi. “Sudah Non, kata Pak Dokter sudah kesini, katanya kondisi Ibu baik-baik saja secara medis, tapi Ibu menderita syok karena sesuatu”, Bi Ijah menyampaikan apa yang dikatakan dokter. “Jangan-jangan Ibu nonton film horror dan kaget ketika ada adegan yang menyeramkan”, Litsa coba berasumsi. “Masa sih pagi-pagi ada film horror?”, Sanggah Bi Ijah. “Iya yah?, tapi kenapa Ibu ngomongnya ngelantur kaya gitu yah?” Jawab Litsa dengan keheranan yang semakin menjadi. “Hmm… Non ngga usah khawatir, soalnya kata Pak Dokter juga, Ibu hanya butuh istirahat. Syoknya Cuma syok ringan”, Bi Ijah membesarkan hati Lisma. “Ya sudah non, biarkan Ibu beristirahat, mendingan Non ganti baju terus makan. Bibi hari ini masak sop buntut kesukaan non lho!”, Bi Ijah mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Makasih Bi, tadi sebelum pulang Aku udah makan, sama Prince Bara”, Jawab Litsa semangat. Padahal cuma makan Es Krim. “siapa itu Pirces Bara?”, Tanya Bi Ijah lugu.“Buka Pirces Bi!, Prince…” Litsa membetulkan. “Oh…ada-ada saja Non ini,jalan-jalan sama pirces. Bibi ngepel dulu ya non?”. “Ya Bi, aku juga mau ke kamar”, Tukas Litsa. Kalau sedang kasmaran rasa-rasanya manusia sanggup tidak makan sebulan.
Litsa bergegas ke kamar, saat hendak masuk kamar, tiba-tiba terdengar bunyi telepon rumah tanda panggilan masuk. “Hallo, rumah Keluarga Bapak Wijaya. Dengan siapa saya bicara ” Lisma mebuka pembicaraan. “Lis, ini aku Alma! “ Lisma, teman diskusi Lisma menjawab dengan antusias. “Oh, biasanya kamu nelpon ke HP, kok ketumben pake telpon rumah?” Lisma heran. “Kamu yang aneh, aku nelpon kamu eh,,,, yang jawab Bara, cie…. Yang udah jadian, HP aja sampai tuker-tukeran”. Alma meledek. Lisma mengamini dalam hati kata-kata Alma. “Hmmm, ngaco kamu Al, kita tadi pagi terlambat bareng, terus sama Pak Hardi dilarang masuk, “ Litsa menyanggah dengan berat hati. “Ehemm.. aku tunggu hari jadi dan M2M nya, aku sudah tau semua. Satu kelas geger gara-gara kamu terlambat bareng sama Bara. Apalagi Hilya, dia kan udah kebelet jadian sama Bara, tapi apalah daya hendak hati ingin memeluk bulan, tapi apa daya tangan tak sampai”, Alma menceritakan panjang lebar. “Sudah aku duga, eh kamu nelpon mau diskusi PR apa?”, Lisma bertanya seakan sudah tau apa yang Alma inginkan.“Ini lho PR Matematika nomor 10, aku hasilnya 12,5, tapi aku ragu jawabannya bener apa ngga?, kok bisa-bisanya positif”. Alma mengadu tentang keheranannya.
Saat Lisma sedang asyik-asyiknya berdiskusi tentang PR nya, Ibu Lisma bangun dan hendak pergi menuju kamar mandi, Nyonya Wijaya, biasa ia disapa istri kolega Ayah Lisma menjumpai Litsa yang sedang “khusuk” dengan diskusinya, seketika rasa marah dan sedihnya bangkit lagi melihat anak yang dikiranya telah melakukan perbuatan amoral. Namun dia ambruk lagi setelah mendengar ; “Masa sih hasilnya positif?, aku ngga percaya coba cek lagi”, Lisma seakan tak percaya hasil no. 10 PR Matematika. Lisma memang sering berlebihan menanggapi sesuatu, apalagi mengenai pelajaran. “Iya bener”, Alma meyakinkan. “Kamu anak durhaka…..” Teriak Ibu Litsa dengan suara parau . Lisma yang membelakangi posisi Ibunya sadar dan spontan menolong Ibunya yang sedang terduduk meratapi nasib. “Sudah, Ibu tak mau lihat muka kamu lagi!, Pergi!. Pecuma Ibu besarkan kamu tapi kamu berbuat hal seperti itu!, Anak taktau diuntung!!”. Amarah Ibu semakin menjadi-jadi, mungkin sebatalion pasukan Napoleon tak bisa menahan amarahnya. “Maksud Ibu apa?”, Tanya Lisma dengan penuh rasa heran dan sedih, air matanya mulai membasahi pipinya yang tirus.“Kamu sekarang pergi!, Ibu tidak sudi punya anak kaya kamu!. Cuma bikin malu orang tua!”. Amarah Ibu semakin membara. “Ma’afin Lisma kalau Lisma banyak salah, tapi maksud Ibu apa?”, Lisma semakin terbenam dalam rasa heran. Ibu bangun dan menyeret Lisma ke pintu, Ia mendorong Lisma keluar higga gadis yang masih mengenakan seragam abu-abu itu jatuh terduduk, sebenarnya Ia sangat mampu melawan, tapi rasa sayang kepada Ibunya mengahalanginya. Bara tiba-tiba datang bak lakon laki-laki di sinetron yang membela kekasih hatinya, kejadian ini mirip sinetron bergenre “Cinta tak Direstu”. “Ada apa ini Bu?, kenapa Lisma diperlakukan seperti ini?” Tanya Bara dengan rasa geram dan heran. “Bara, pergi!, kamu ngga usah ikut campur urusanku!”, teriak Lisma dengan mata berkaca-kaca. “Ooo ini yang namanya Bara, lelaki hidung belang yang telah menodaimu, sekarang angkat kaki kalian berdua dari sini. Jangan sampai rumah ini terkana najis dosa kalian!” , kemarahan Ibu Lisma memasuki puncak erupsi. Bagai mendengar petir di siang bolong, Lisma dan Bara saling pandang dan bingung hendak berkata apa. Kata-kata Ibu Lisma memahamkan namun sulit diterima nalar, “Hanya mengajak ke café sudah dibilang menodai, sebegitu protektif itu kah Ibu Lisma”. Pikir Bara. “Kami hanya makan bareng kok bu, ngga lebih. Kami tak melakukan apa yang Ibu tuduhkan.” Bara membela diri. “Terus kenapa Litsa positif hamil?!”, ketus Ibu Lisma, muka merah padam menaham larva amarah. Bara dan Lisma semakin bingung saja, mereka hanya bisa terperangah meghadapi dakwaan Ibu Lisma. Suasana hening beberapa saat menyelimuti, hingga HP Lisma yang berada di tangan Bara berbunyi, nampaknya ada panggilan masuk. “Kesiniin HP nya, sekarang ini bukan lagi milikmu anak tak tau diuntung!”, Ketus Ibu Lisma sembari merebut HP keluaran Korea Selatan itu dari tangan Bara. Kemudian tak tahu mengapa Ibu Litsa mengangkat panggilan dari HP Lisma itu. Baru saja diangkat, lawan bicaranya langsung menghujani dengan kata-kata yang nampaknya berbau Matematika. “Lis.. halo… halo… ternyata hasilnya negatif, bukan positif, tadi aku salah hitung…”.Ternyata itu Alma yang meralat jawabannya. Ibu Lisma yang mendengar itu pun langsung shock dan tersungkur pingsan. Untung, dengan sigap Bara menangkap wanita korban persepsi itu. Lisma dan Bara saling berpandangan dan menahan ketawa seketika.
Leave a Reply