Hujan…. Hujan….. oh Hujan…..
Akhirnya engkau datang juga…
Aku rasa engkau datang tuk menemaniku
Mengobati jiwa yang remuk redam berjuta pilu
Menyiram dahaga kalbu yang kian mengharu biru
Pohon……
Mengapa kau begitu congkak kepadaku?
Berdiri mematung di sana?
Bahkan seulas senyum pun seakan sukar kau beri
Kau memilih merelakan diri jadi bulan-bulanan hujan
Kau lebih memilih menjadi sasaran amarah mentari,
Sementara aku disini kau biarkan bergelut dengan sepi,
Tenggalam dalam kesendirian dan berteman dengan senyap.
Teman….. mana kau teman?
Seburuk itukah diriku sampai aku diasingkan?
Bagai orang terkena kutukan, kucing-kucing kampung kurapan…
Sahabat, mana engkau sahabat?…
Kenapa banyak orang yang mengaku sahabat ketika aku mujur
Namun kalian berlalu saat aku renta tak berdaya, meninggalkanku
Bak sisa sayur-mayur
Aku tak mengerti???
Kenapa kau Bulan hanya mentertawai nestapa,
Berlagak tak tau apa-apa, bertahta di Cakrawala,
Tertawa bahagia kala nasib kian merana.
Engkau Angin….
Tertawa geli ketika melihat aku sendiri
Oh ya… aku baru ingat…
Kau kan tak punya perasaan…
Tak berbeda jauh dari mereka yang kata nya punya..
Terima saja kau sang penulis sajak!
Kau ini sendiri sekarang…
Ditinggalkan Karena kau kotor
Bersalah di sana-sini.
Berbaur dengan dosa, membusuk di liang dosa.
Mereka itu suci!, bagai malaikat tak bersayap
Yang tak mungkin bersalah maupun khilaf.
Memiliki esensi kebenaran hakiki
Duduk jumawa berkacak pinggang serta membusungkan dada
Tersenyum sinis melihat sebelah mata.
Kau (penulis) yang sendiri
Terkapar tak berdaya beralaskan balada
Berselimutkan mendung, dinaungi awan duka
Terpenjara di sel berjeruji ironi
Dihukum dalam pengasingan yang melemahkan nadi
Kau sendiri…
Terpatri dalam sepi
Terombang-ambing di tengah lautan sendiri
Tak berdaya, hampir mati…..
Al-Azhar Atas 1, 6 November 2015.
Leave a Reply